Review:
Film Batas 28 Desember 2015
Oleh
: Cyntia Andika Amarta
Poster
film
|
|
Sutradara
|
Rudi Soedjarwo
|
Produser
|
Marcella Zalianty
|
Penulis
|
Slamet Rahardjo
|
Pemeran
|
Marcella Zalianty
Arifin Putra Ardina Rasti Jajang C Noer Piet Pagau Marcell Domits Alifyandra Otig Pakis Tetty Liz Indriati |
Distributor
|
Keana Production
|
Tanggal
rilis
|
19 Mei 2011
|
Negara
|
Indonesia
|
Batas adalah film drama Indonesia
yang dirilis pada 19 Mei
2011 dengan
disutradarai oleh Rudi Soedjarwo yang dibintangi oleh Marcella
Zalianty dan Arifin Putra. Novel ini ditulis oleh Akmal Nasery Basral
Ketika Jaleswari
(Marcella Zalianty) ditugaskan oleh pimpinan perusahaannya (Amroso Katamsi)
untuk menyelidiki mengapa kegiatan Corporate Social Responsibility dalam bidang
pendidikan perusahaan mereka tidak berjalan dengan lancar pada sebuah
perkampungan di wilayah Entikong, Kabupaten Sangau, Kalimantan Barat, Jaleswari
tentu saja tidak akan mengharapkan bahwa ia akan tertahan lama di wilayah
tersebut. Jaleswari, seorang wanita yang terbiasa hidup dengan gaya hidup
modern dan baru saja kehilangan suaminya sekaligus menyadari bahwa ia sedang
hamil, hanya ingin agar masalah tersebut cepat selesai. Karenanya, walau sang
ibu (Tetty Liz Indriati) dengan tegas meminta agar Jaleswari menolak penugasan
tersebut, Jaleswari tetap bersikukuh untuk pergi ke wilayah terpencil itu
selama dua minggu. Jauh dari peradaban dan keluarganya di Jakarta, Jaleswari
akan segera mengenal sejauh mana batas ketahanan dirinya dalam mengenal dan
bertahan dalam sebuah lingkungan baru.
Sesampainya di
wilayah tersebut, Jaleswari kemudian dikenalkan dengan Adeus (Marcell Domits).
Adeus, yang merupakan satu-satunya guru di wilayah tersebut, mengira Jaleswari
adalah seorang guru yang ditugaskan untuk menggantikan guru-guru kiriman
sebelumnya yang tidak pernah mampu bertahan lama mengajar di wilayah tersebut.
Walau awalnya berusaha menjelaskan mengenai apa tugas yang sebenarnya,
Jaleswari kemudian merasa tidak tega melihat anak-anak perkampungan tersebut.
Dengan bantuan Adeus, Jaleswari akhirnya mulai mengajar dan dekat dengan
anak-anak kampung tersebut. Di saat yang sama, kedatangan Jaleswari ternyata
menimbulkan rasa ketidaksenangan pada beberapa orang, khususnya pada Otig (Otig
Pakis), seorang pria yang menganggap bahwa kedatangan Jaleswari hanya akan
merusak tatanan adat dan struktur masyarakat di kampung tersebut. ‘Perang
dingin’ antara Jaleswari dan Otig-lah yang kemudian mengisi struktur cerita
Batas sekaligus menumbuhkan beberapa plot cerita tambahan yang sekaligus akan
mengarahkan Jaleswari kepada jawaban dari pertanyaan mengapa ia harus
dikirimkan ke wilayah tersebut.
Dengan durasi yang
hampir mencapai dua jam, Batas mencoba menceritakan mengenai banyak hal. Walau
jalur utama kisah film ini menceritakan mengenai bagaimana usaha karakter
Jaleswari untuk menyelesaikan tugasnya, Batas masih diisi dengan banyak konflik
yang timbul dari setiap permasalahan pribadi para karakter yang dihadirkan di
film ini. Dan untuk menceritakan rentetan konflik tersebut dengan lancar
bukanlah sebuah tugas yang mudah. Beberapa kali, Batas terlihat kehilangan
fokus dalam penceritaannya serta gagal dalam memberikan penjelasan yang pasti
mengenai beberapa konflik yang sebelumnya telah dimunculkan. Walau begitu,
sutradara film ini, Rudi Soedjarwo, masih mampu menghadirkan susunan cerita
yang kuat dalam balutan gambar-gambar indah dan menghanyutkan karya
sinematografer, Edi Michael.
Kalau mau dirunut
dari awal, Batas memiliki struktur cerita yang cukup kompleks. Dengan beberapa
lapisan cerita yang dimiliki, Rudi semakin membuat sulit penontonnya untuk
dapat mencerna Batas dengan mudah lewat pemilihan ritme penceritaan film ini
yang cukup lamban. Dibuka dengan adegan yang memperlihatkan seorang gadis
(Ardina Rasti) yang dikejar-kejar oleh beberapa pria, Batas kemudian
mengalihkan fokusnya kepada usaha karakter Jaleswari untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya yang baru. Kisah mengenai kedekatan yang dialami Jaleswari
dengan anak-anak kampung dan tugas barunya sebagai seorang pengajar kemudian
mengambil alih jalan cerita secara maksimal sebelum akhirnya misteri mengenai
gadis misterius dan beberapa karakter yang dikenalkan di awal mulai dibuka dan
diperkenalkan satu persatu.
Harus diakui,
Batas adalah sebuah film yang memiliki kandungan filosofi yang cukup tinggi
jika dibandingkan dengan film-film lain yang beredar di layar lebar Indonesia
saat ini. Secara literal, judul Batas menggambarkan lokasi dimana jalan cerita
ini terjadi, yakni di Entikong, sebuah wilayah Kalimantan Barat yang populer
karena berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia. Namun, Batas sama sekali
tidak memfokuskan dirinya pada kisah tersebut. Kisah mengenai masyarakat dari
dua negara yang masih berasal dari satu rumpun dan suku yang sama namun
terpisah karena ideologi politik dua negara hanya menjadi latar belakang
sementara bagi Batas. Batas sesungguhnya, yang ingin diceritakan oleh penulis
naskah, Lintang Sugianto dan Slamet Rahardjo Djarot, justru berada pada diri
setiap karakter yang ada di film ini.
Tentu saja dimulai
dari karakter utama film ini, Jaleswari. Awalnya menganggap kedatangan dirinya
hanya sebagai bagian dari tugas, Jaleswari kemudian dihadapkan pada batas
kenyamanan dirinya pada lingkungannya yang baru. Ia harus menyesuaikan diri
dengan adat istiadat, pola pemikiran masyarakat, hingga tatanan masyarakat yang
awalnya dianggap asing. Kemudian ada karakter Ubuh – gadis yang berada di awal
cerita – dan Adeus, yang harus berhadapan dengan batas kemampuan diri mereka
dalam menghadapi masalah yang datang dari luar dan mengencam diri mereka. Batas
juga mengungkap mengenai bagaimana karakter Panglima Adayak (Piet Pagau) dan
Nawara (Jajang C Noer) berusaha untuk menyingkirkan batas di antara hubungan
mereka berdua yang mulai tercipta semenjak kematian puteri dari Nawara – yang
merupakan menantu dari panglima Adayak. Namun secara luas, Batas secara
perlahan menanamkan ide mengenai bagaimana sekelompok orang berusaha untuk
keluar dari batas kenyamanan diri mereka ketika mereka dihadapkan pada sebuah
tantangan atau permasalahan demi dapat segera menyelesaikannya.
Kompleks dan cukup
rumit, beberapa penonton mungkin akan memilih untuk menyudutkan diri mereka
dari usaha menerima berbagai filosofi-filosofi yang berusaha dihadirkan di
dalam film ini. Batas bekerja secara personal. Ketika penonton mampu terhubung
penuh dengan karakter Jaleswari dan bagaimana usahanya untuk dapat berbaur
dengan lingkungan barunya, di titik itulah Batas kemudian dapat mengalir dengan
mudahnya. Memang, harus diakui penceritaan yang dimiliki film ini terkesan
terlalu ambisius sehingga pada beberapa bagian Batas terkesan hambar. Namun
Rudi Soedjarwo sendiri harus diakui telah berhasil melewati batas kenyamanannya
dalam menyutradarai sebuah film. Batas sangatlah berbeda dengan film-film yang
ia hasilkan sebelumnya. Film ini begitu puitis serta penuh kandungan filosofis
yang membuatnya tampil sangat indah.
Berbicara mengenai
keindahan, Batas adalah salah satu film yang sepertinya semakin memperkuat tren
yang hadir di film-film Indonesia akhir ini: bercerita melalui gambar yang
indah. Pada Batas, Rudi Soedjarwo memiliki sinematografer, Edi Michael, yang
melaksanakan tugasnya dengan sangat baik. Setiap gambar mampu tampil begitu
menghanyutkan. Begitu menghanyutkannya gambar-gambar pilihan Edi Michael akan
keindahan alam Entikong, ketika Batas menghadirkan suasana kebisingan, padat
dan riuh rendahnya kota Jakarta di bagian akhir kisah, penonton akan dapat
merasakan sentakan akibat dua perbedaan wilayah tersebut.
Selain tampil
unggul di divisi visual, tampilan suara Batas juga sepertinya mampu
menghadirkan kualitas yang seimbang. Tata musik yang disusun oleh Thoersi Argeswara
adalah salah satu poin yang mampu membuat Batas tampil begitu mempesona. Juga
menghadirkan pengaruh kebudayaan Dayak pada susunan musiknya, susunan musik
arahan Thoersi tampil begitu bernyawa dengan kandungan emosi yang penuh. Lihat
adegan dimana karakter Jaleswari dan Ubuh untuk pertama kalinya berkenalan.
Lewat arahan Rudi, adegan tersebut terasa begitu personal. Namun berkat tata
musik arahan Thoersi-lah yang membuat adegan tersebut mampu begitu menyentuh
dan terasa kedekatan emosionalnya.
Dari divisi
akting, rasanya dengan nama-nama seperti Marcella Zalianty, Piet Pagau dan
Jajang C Noer yang mengisi jajaran departemen aktingnya, Batas seperti telah
memiliki jaminan kualitas tersendiri. Dan memang benar, mereka mampu
menampilkan permainan terbaik mereka. Selain Marcella, Piet dan Jajang, Batas
juga menampilkan akting dari Arifin Putra yang walaupun karakternya sedikit
kurang begitu mendapat pendalaman, namun mampu ditampilkan Arifin dengan cukup
baik. Arifin juga mampu tampil lebih dewasa dari penampilan sebelumnya di Rumah
Dara (2010). Kehadiran Batas juga mengenalkan penampilan dari Marcell Dormits
dan aktor cilik, Alifyandra. Walau harus diakui keduanya masih memiliki
kemampuan akting yang berada dibawah nama-nama pemaran lainnya, yang menyebabkan
beberapa kali keduanya masih terlihat kaku, namun secara keseluruhan keduanya
juga tampil tidak mengecewakan.
Namun, tak ada
yang lebih mengejutkan dari bagaimana Ardina Rasti mampu menangani karakternya
dengan sangat baik. Karakter yang diperankan Ardina, Ubuh, memiliki dialog yang
sangat minim. Namun, Ubuh merupakan satu peran dengan karakter yang cukup
kompleks. Penuh dengan depresi, penderitaan dan ketakutan, Ardina ternyata
mampu menampilkan kemampuan akting terbaiknya. Dan bagian terbaiknya, Ardina
menghantarkan kemampuan akting tersebut murni tanpa bantuan dialog sedikitpun.
Ia tampil hanya dengan ekspresi yang begitu mendalam. Let’s just say… Piala
Citra untuk Aktris Pendukung Terbaik telah menunggu Ardina Rasti?
Batas sama sekali
tidak sempurna. Hasrat film ini yang ingin bercerita dengan begitu banyak
dengan durasi film yang hanya mencapai 115 menit terkadang harus menerima
konsekuensi bahwa beberapa bagian cerita menjadi kurang dapat tampil maksimal
yang kemudian menciptakan beberapa lubang pada plot ceritanya. Walau begitu,
ketika penonton tahu harus menempatkan dirinya di bagian mana pada jalan cerita
film ini, berbagai aliran kisah yang disiapkan film ini akan mampu mengalir
dengan begitu lancarnya. Tata produksi film ini juga sangat dinamis. Rudi mampu
menghadirkan suasana Entikong yang sangat nyata bagi para penontonnya. Dukungan
akting para pemerannya, tata sinematografi dan tata musik juga semakin membuat
Batas tampil maksimal. Sebuah film dengan jalan cerita yang berjalan personal,
dan terlepas dari beberapa cacat yang hadir di beberapa bagian, tetap merupakan
karya yang sangat memuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar